Jumat, 26 Juni 2009

BAB V. ASPEK POLITIK



BAB V

ASPEK POLITIK

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah adalah persoalan politik.

Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota Mekah dan pindah ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota Nabi.

Di kota ini keadaan Nabi dan Umat Islam mengalami perobahan yang besar. Di Medinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarak yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara yang daerah kekuasaannya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. sesudah beliau wafat, beliau diganti oleh orang lain untuk memimpin.

Pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakar. Abu Bakar menjadi Kepala dengan memakai gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah Pengganti (Inggeris : Successor). Kemudian setelah Abu Bakr wafat, Umar Ibn Al-Khattab menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi Khalifah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai Khalifah.

Sahabat- sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Medinah. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka- pemuka pemberontak dari Mesir Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat, menjadi Khalifah yang ke-empat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.

Dalam peperangan yang terjadi Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah. Tantangan kedua datang dari Mu'awiah, gubernur Damaskus yang tidak mengakui Ali sebagai Khalifah bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, Antara kedua golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin, Irak. Tentara Ali dapat mendesak tentara Mu'awiah sehingga yang tersebut akhir ini telah bersedia untuk lari.

Tetapi tangan kanan Mu'awiah, Amr Ibn Al-Aas, yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai Imam-Imam yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawarar itu dan dengan demikian dicarilah perdamaaan dengan mengadakan hakam yaitu arbitrase.

Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr Ibn Al-Aas dari pihak Mu'awiah dan Abu Musa Al-Asy'aru.dari pihak Ali Dalam pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. terdapat permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu'awiah. Tetapi Amr, yang berbicara kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan Mu'awiah. Mu'awiah yang pada mulanya hanya berkedudukan Gubernur kini telah naik derajatnya menjadi Khalifah yang tidak resmi.

Tidak mengherankan kalau putusan ini tidak diterima Ali dan ia tak mau meletakkan jabatan sehingga ia mati terbunuh di tahun 4661 M. Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr tidak disetujui oleh sebagian dari tentaranya.

Tentara ini mengasingkan diri dan ke luar dari barisan Ali. Mereka terkenal dalam sejarah dengan nama Khawarij, itu orang-orang yang keluar. Mereka mengatur barisan mereka dan selanjutnya menentang Ali. Antara Ali dan mereka terjadi peperangan. Dalam peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi tentara Ali telah terlalu lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Mu'awiah. Mu'awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ifatnya Ali ia dengan mudah dapat memperkuat kedudukannya bagai Khalifah di tahun 4661 M.

Perlu dijelaskan bahwa khalifah (pemerintahan); yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan; tetapi lebih dekat merupakan republic, dalam arti, Kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan Nabi Muhammad, Kepala negara. Abu Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan Muhajirin dalam rapat Saqifah di Medinah.

Pengangkatan itu kemudian mendapat persetujuan dan pengakuan mat, yang dalam istilah Arabnya disebut bay'ah ( ). Umar menjadi Khalifah kedua atas pencalonan Abu Bakar yang segera juga mendapat persetujuan umat. Penentuan Usman sebagai pengganti Umar dirundingkan dalam rapat Enam Sahabat. Alilah merupakan calon terkuat untuk menjadi Khalifah keempat. Tetapi bay’ah yang diterima Ali tidak lagi sebulat bay'ah yang diberikan umat kepada khalifah-khalifah sebelumnya. Khalifah Ali, seorang Khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy. Pendapat ini didasarkan atas hadis yang membuat Quraisy mempunyai kedudukan lebih tinggi dari suku-suku Arab lainnya dan terutama hadis : Imam-imam adalah dari Quraisy ( ). Pendapat ini kemudian menjadi teori ketatanegaraan yang dianut oleh Ahli Sunnah. Kaum Khawarij tidak setuju dengan faham di atas. Menurut pendapat mereka khilafah (jabatan Kepala Negara) bukanlah hak monopoli dari suku Quraisy. tiap orang Islam sekalipun ia bukan orang Arab, boleh menjadi Khalifah, asal saja ia mempunyai kesanggupan untuk itu. Dan berlawanan dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah, khalifah bagi kaum Khawarij tidak mempunyai sifat turun-temurunberpendapat bahwa Khalifah yang melanggar ajaran-ajaran agama wajib dijatuhkan, bahkan dibunuh.

Sementara itu, seorang pemuka Khawarij bernama Najdah Ibn Amr Al-Hanafi mempunyai faham bahwa Kepala Negara diperlukan hanya jika maslahat umat menghendaki yang demikian. Kaum Khawarij dalam sejarah pecah menjadi beberapa kelompok, tetapi perbedaan faham mereka berkisar sekitar masalah- masalah teologi.

Kaum Syi'ah, berpendapat bahwa jabatan Kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam, bahkan pula tidak hak setiap orarag Quraisy, Dalam faham kaum Syi'ah imamah (jabatan Kepala Negara) adalah hak monopoli Ali Ibn Abi Talib dan keturunannya.

Sesuai dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah, imamah dalam teori Syi'ah mempunyai bentuk kerajaan dan turun temurun. Semestinya yang menggantikan Nabi Muhammad adalah anak beliau. Tetapi karena beliau tak mempunyai anak laki-laki yang hidup, jabatan itu seharusnya pergi ke anggota keluarga beliau yang terdekat. Ali Ibn Abi Talib, adalah anak paman beliau dan yang terpenting lagi adalah pula menantu beliau. Oleh karena itu, Ali-lah anggota keluarga Nabi yang terdekat. Tetapi setelah ternyata bahwa Bani Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka sendiri dan kemudian membentuk Dinasti Bani Abbas, kaum Syi'ah mengambil sikap melawan terhadap mereka. Gerakan mereka akhirnya mewujudkan khilafah Syi'ah di Mesir, yaitu khilafah Fatimiah (969 - 1171 M) dan kerajaan Syi'ah di Iran semenjak tahun 1502 M.

Dalam pada itu, kaum Syi'ah juga pecah ke dalam beberapa golongan. Yang terbesar ialah golongan Syi'ah Dua belas ( ). Mereka disebut Syi'ah Duabelas karena mereka mempunyai duabelas Imam Nyata ( )

Pada Muhammad Al-Muntazar berhenti rangkaian Imam-imam Nyata. Imam ini menghilang baut sementara dan akan kembali lagi sebagai Al-Mahdi untuk langsung memimpin umat. Oleh karena itu ia disebut Imam Bersembunyi ( ) atau Imam Dinanti, ( ). Selama bersembunyi ia memimpin umat melalui Raja-raja yang memegang kekuasaan dan ulama-ulama mujtahid Syi'ah.

Di samping Syi'ah Duabelas ada pula Syi'ah Ismailiah. Imamimam mereka sampai dengan Imam Keenam masih sama dengan Imam-imam Syi'ah Duabelas. Perbedaan mulai timbul pada Imam Ketujuh. Karena mengakui hanya tujuh Imam Nyata, Syi'ah Ismaili, ini juga disebut Syi'ah Tujuh, sungguhpun pada akhirnya tidak semua berpegang teguh pada faham ini. Selanjutnya ada lagi Syi'ah Zaidiah, yaitu pengikut Zaid Ibn Ali Zain Al-Abidin. Berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi’ah Ismailiah mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi. Imam harus langsung memimpin umat. Jabatan Imam harus berasal dari keturunan Ali dan Fatimah.

Di samping ketiga golongan besar ini, masih ada golongan- golongan kecil seperti Syi'ah Saba'iah, pengikut Abdullah Ibn Saba', Syi'ah Al-Ghurabiah, Syi'ah Kisaniah, pengikut Al Mukhtar Ibn Ubaid Al-Tsaqafi dan Syi'ah Al-Rafidah. Imam mempunyai sifat kekudusan yang diwarisi dari Nabi Faham-faham ini sama-sama dianut oleh Syi'ah Duabelas dan Syi'ah Ismailiah. Tetapi di antara golongan Ismailiah ada yang membawa faham-faham itu bersifat ekstrim. Sehubungan dengan kesucian Imam dari perbuatan salah, mereka umpamanya berpendapat bahwa sungguhpun Imam melakukan perbuatan salah, perbuatannya itu sebenarnya tidak salah. Ada lagi yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri Imam, dan oleh karena itu Imam disembah. Khalifah Fatimi Al-Hakim lbn Amrillah berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat Tuhan, dan oleh karena itu memaksa rakyat supaya menyembahnya.

Syi'ah Zaidiah, berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi'ah Ismailiah berpendapat bahwa Imam tidaklah ditentukan Nabi orangnya, tetapi hanya sifat-sifatnya. Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik ( ) Kalau yang pertama disebut Imam afdal yang

kedua disebut Imam mafdul ( ).

Di samping yang tersebut di atas ada lagi faham-faham yang diajukan oleh Syi'ah ekstrim ( ) tentang sifat Ali. Al Saba'iah menganggap Ali Tuhan dan tidak mati terbunuh, tetapi naik ke langit.

Ahli Sunnah tidak menerima faham-faham tersebut di atas. Bagi mereka Ali dan keturunannya adalah manusia biasa, sama dengan Abu Bakar, Umar, Usman dan lain-lain. Oleh karena itu Jabatan Kepala Negara dalam teori mereka tidak dikhususkan untuk Ali dan keturunannya dan kalaupun dikhususkan hanya untuk suku Quraisy.

Menurut Al-Mawardi syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi Khalifah atau Imam, selain kesukuan Quraisy antara lain adalah sifat-sifat adil, berilmu, sanggup mengadakan ijtihad, sehat mental dan fisik, berani dan tegas. Imam dipilih oleh orang-orang yang berhak untuk memilih ( ). Sifat-sifat yang diperlukan untuk menjadi pemilih adalah adil, mengetahui syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi Khalifah, dan kesanggupan untuk menentukan dengan bijaksana siapa yang berhak untuk menjadi Kalifah di antara calon-calan yang ada. Pemilih-pemilih itu disebut ahl al hal waal aqad ( ) yaitu orang orang yang dapat menentukan. Tetapi kepatuhan umat kepadanya akan hilang kalau sifatsifat yang membuatnya berhak menjadi Khalifah hilang pula, Demikian sebahagian dari teori-teori politik yang dimajukan oleh Al- Mawardi. Al-Ghazali, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat, bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun Khalifah yang zalim. Al-Ghazali

mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Ibn Jama'a sama dengan Al-Ghazali.

Selain dari kaum teolog, kaum filosof Islam juga membahas soal politik dalam Islaseperti pemikiran politik Al-Farabi yang banyak dipengaruhi oleh filosof Yunani, Plato, yang menguraikan bahwa negara terbaik ialah negara yang dikepalai seorang Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul telah selesai, maka negara terbaik kelas dua ialah negara yang dikepalai oleh seorang filosof.

Ibnu Sina juga berpendapat bahwa negara terbaik adalah Negara yang dipimpin Rasul dan sesudah itu negara yang dipimpin filosof,

Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum (Syari'ah) mementingkan soal spirituil dan moral rakyat, dan mesti bersikap adil. Ia harus membawa umat kepada kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Tidak ada komentar: